Entitas Sosiologi Politik Pilkada
Oleh: Novel Ali
DARI kunjungan ke berbagai kabupaten/kota di Jawa Tengah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) 2005, penulis memprediksi akan terjadi kondisi yang amat pahit akibat pilkada. Kondisi pahit (tidak menyenangkan, bahkan membahayakan) itu, dibentuk oleh entitas sosiologi politik sebagian warga masyarakat, yang mencoba memanfaatkan momentum perhelatan pesta demokrasi tersebut, sebagai sarana memperebutkan kekuasaan, atau memperkuat posisi politik di parlemen (daerah), atau cari duit, atau ada motif lain.
Entitas sosiologi politik dimaksud, ditandai terutama oleh berkembangnya isu, bahwa untuk berani menampilkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati atau wali kota/wakil wali kota, di sebuah daerah (khususnya kota) yang hanya punya dua kecamatan, diperlukan dana lebih-kurang Rp 5 miliar. Pilkada di kabupaten/kota lain yang lebih besar, setiap pasangan calon kepala daerah, diisukan harus punya duit minimal Rp 10 miliar, bahkan sangat mungkin mencapai angka Rp 20 miliar untuk membiayai berbagai keperluan.
"Suara burung" (public rumor) yang sampai saat ini belum diklarifikasi benar tidaknya pada kandidat yang bersangkutan, dana itu dibutuhkan guna merealisasi berbagai kepentingan. Mulai kompensasi biaya penggunaan "kendaraan" yang dipakai (parpol atau gabungan parpol), sampai dana operasional tim sukses dengan berpuluh model pendekatan publik yang direncanakan. Yang tidak kalah pentingnya, guna "membeli" suara pemilih, dalam aneka bentuk penawaran yang sangat halus, baik di hari pemungutan suara beberapa waktu mendatang, maupun jauh hari sebelumnya.
Sejumlah problem sosial, politik atau lainnya, muncul berbarengan entitas sosiologi politik pilkada. Problematika tersebut bermuara dari ketidakmampuan penyelenggara pilkada (KPU), pengawas, pemantau, elite parpol yang terlibat dalam dukungan pasangan calon, hingga calon kepala daerah, dan tim sukses masing-masing.
Selain itu, ketidaktepatan aparat pemerintah (sipil dan Polri khususnya) memprediksi konflik horizontal dan vertikal menjelang dan pascapilkada, semakin memperuncing kondisi masyarakat di tingkat basis (komunitas). Konflik horizontal dan vertikal ini ditumbuhkembangkan oleh kreativitas dan dinamika memperebutkan suara pemilih, sebagai hasil rekayasa tim sukses.
Propaganda
Rekayasa tim sukses untuk merebut suara pemilih di hari pemungutan, ada yang sepengetahuan pasangan calon bupati/wakil bupati, ada pula yang tidak sepengetahuan mereka. Sebagian rekayasa tim sukses, berada dalam wilayah kewajaran persuasi publik, namun tidak sedikit yang bersifat propaganda, hingga bisa dipastikan bukan merupakan pendekatan persuasi (membujuk), melainkan coersive (memaksa).
Penerapan model propaganda sebagai bagian rekayasa tim sukses, sebetulnya merupakan sesuatu yang lebih banyak mudharat (kerugian) ketimbang memberi manfaat. Propaganda mengakses pengunggulan calon bupati/wakil bupati, atau wali kota/wakil wali kota, dibarengi kesengajaan menutup-nutupi kekurangan kandidat yang bersangkutan.
Bahkan, penerapan teknik propaganda, sebagaimana tampak nyata dari sejumlah model pendekatan tim sukses pasangan calon kepala daerah di beberapa kabupaten/kota yang sempat penulis nilai secara pribadi, berkesan secara sengaja memanipulasi emosi publik. Mereka menganalogkan pasangan calon tertentu, sebagai satu-satunya pihak yang menjamin kesejahteraan daerah, minimal lima tahun ke depan.
Harus diakui, berbagai model pendekatan, apalagi teknik propaganda tim sukses, baik sepersetujuan maupun tanpa persetujuan kandidatnya, belum tentu disambut baik oleh pemilih. Dari berbagai pengakuan di beberapa kabupaten/kkota yang tahun 2005 ini akan melakukan pilkada, penulis memperoleh informas, bahwa kedatangan pasangan calon didampingi tim sukses, serta massa pendukung ke panitia renovasi masjid, dengan maksud memberi bantuan kekurangan dana pembangunan masjid itu, ditolak mentah-mentah panitia setempat. Panitia mengatakan, renovasi masjid ini tidak sedikit pun boleh diwarnai oleh kepentingan politik praktis pilkada.
Pembangunan Jaringan
Bahkan, kabarnya, pasangan calon kepala daerah tertentu yang menyediakan dana lebih-kurang Rp 300 juta untuk membangun sepenuhnya tempat ibadah, ditolak pemilik lahan wakaf. Orang itu bilang: "Saya tidak mengizinkan masjid yang akan dibangun di lahan ini menjadi sarana kecongkakan kekuasaan, kalau penyedia dana kelak berhasil terpilih sebagai kepala daerah. Atau sebaliknya, menjadi ajang pelampiasan sakit hati, karena kandidat yang menyediakan sepenuhnya dana pembangunan masjid ini kalah dalam pilkada."
Pemberian bantuan untuk renovasi, atau pembangunan masjid, musala, gereja, dan tempat ibadah lain, merupakan model pembangunan dan pemberdayaan jaringan. Model ini sangat intens menjelang pilkada, umumnya karena kandidat dan semua pihak mafhum, pemilik suara bukanlah anggota DPRD, atau pimpinan parpol, atau pejabat pemerintah, melainkan warga masyarakat yang memenuhi persyaratan tertentu.
Karenanya, intensifikasi dan ekstensifikasi pendekatan (approach) kepada pemilih secara langsung, mutlak diperlukan. Tanpa pendekatan langsung, mustahil pendekatan pers (iklan politik, atau lain-lain sejenisnya), dapat secara efisien serta efektif mempengaruhi konstituen (pemilih).
Itu pula sebabnya, mengapa menjelang pilkada, biaya yang dikeluarkan pasangan calon bupati/wakil bupati, atau calon wali kota/wakil wali kota tertentu, jauh lebih besar untuk kepentingan pembangunan dan pemberdayaan jaringan, ketimbang buat bayar iklan di media massa, sekalipun dilakukan sehalus mungkin, mengingat masa kampanye belum datang.
Bahkan, di masa kampanye, penulis memprediksi dana yang dikeluarkan calon untuk membiayai iklan politik guna memengaruhi pemilih, nominalnya akan jauh lebih sedikit dibanding guna membiayai pembangunan dan pemberdayaan jaringan, sampai ke level pemilih (komunitas).
Pembangunan dan pemberdayaan jaringan dengan biaya tidak sedikit itu dilakukan dengan pengembangan sistem sel. Seorang bertugas memengaruhi 5 orang. Setiap orang dari kelima orang itu ditargetkan mempengaruhi masing-masing 5 orang lainnya, dan seterusnya, sehingga terjaring sebanyak mungkin dukungan suara.
Selain mengembangkan sistem sel, tim sukses mendasarkan kegiatannya atas need assessment pemilih. Jauh hari sebelumnya, tim sukses setiap pasangan melakukan penelitian tidak resmi, menanyakan kebutuhan warga masyarakat di level terbawah.
Karenanya, tidak mengherankan jika pasangan calon kepala daerah, memberi bantuan untuk pembelian peralatan olahraga bagi pemuda di lingkungan RT. Bahkan membelikan komputer, yang -menurut ketua RT- diperlukan untuk penyempurnaan sistem administrasi kependudukan setempat.
Calon yang lain, memberi bantuan puluhan juta rupiah untuk pembangunan balai RW, di samping menyediakan dana buat penyelenggaraan pengajian, misa, kebaktian, atau lain-lain. Semuanya dengan titipan pesan (sponsorship), minimal memperkenalkan kandidat yang membantu terealisasinya program tersebut.
Motivasi
Ibu-ibu dari lingkungan RT, RW, atau lainnya, piknik bersama ke daerah wisata tertentu. Di sisi kanan dan kiri bus ditulis "Wisata ibu-ibu pendukung A/B sebagai calon bupati/wakil bupati X, atau calon wali kota/wakil wali kota Y".
Kabarnya, jika pasangan calon tertentu membiayai kelompok ibu ke daerah wisata yang berjarak 200-500 kilometer pulang-pergi, pasangan lain tidak mau kalah. Mereka menjanjikan "menghibur" calon pendukung sampai ke Pulau Bali.
Bayangkan, betapa besar semua dana yang diperlukan untuk semua kepentingan itu. Belum lagi buat pembuatan kaos, poster, spanduk, baliho, neon sign bergambar pasangan calon, dan lain sebagainya.
Betapa tidak mungkin perencanaan kegiatan tersebut, apalagi sampai proses pelunasan pembiayaan, dilakukan oleh setiap pasangan calon. Mustahil mereka bekerja sendiri, hingga mau tak mau, mereka membutuhkan bantuan puluhan, atau mungkin ratusan, atau bahkan lebih dari 1.000 orang anggota tim sukses. mulai dari tingkat kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan, bahkan sampai ke level tempat pemungutan suara (TPS).
Pengorbanan kandidat, tentu bisa dibaca tujuannya. Pasangan itu ingin menduduki kursi nomor satu dan dua, di puncak piramida kekuasaan daerah setempat (kabupaten/kota). Apakah di balik maksud tersebut tercuat keinginan "ibadah sosial" (pengabdian kepada daerah serta masyarakat), atau untuk membangun kekuasaan baru, atau guna memperkuat wilayah kekuasaan lama (bagi pemimpin lama yang kembali mencalonkan diri), atau memang untuk memperkaya diri, wallahua'lam bisshawab. Tuhan Mahatahu di balik semua niat baik dan niat buruk manusia. Termasuk semua motif dan motivasi kandidat yang maju dalam pilkada mendatang.
Demikian pula bagi tim sukses setiap pasangan calon bupati/wakil bupati, atau calon wali kota/wakil wali kota. Kerja keras mereka dilandasi oleh berbagai maksud atau tujuan. Sebagian benar-benar dan hanya dimotivasi oleh keinginan tunggal agar pasangan calon tertentu bisa memenangkan pilkada. Target ini didasarkan keyakinan pribadi, bahwa di bawah pasangan calon tertentu, kabupaten/kota setempat akan lebih sejahtera dibanding masa sebelumnya. Paling tidak guna meningkatkan apa-apa yang sudah eksis di waktu lalu.
Bagi sebagian anggota tim sukses lain, pikiran dan kegiatan pribadi bagi kepentingan pasangan calon tertentu, bersifat "ada udang di balik batu". Ini tampak terutama oleh kuatnya upaya memperoleh dana dari kocek kandidat, guna membiayai aneka kepentingan memperebutkan suara pemilih, yang sebagiannya bisa masuk kantong sendiri. Belum lagi yang secara resmi diberikan kepada mereka, sebagai honorarium, atau fee kerja tim sukses.
Sebagian anggota tim sukses yang lain, punya tujuan yang tidak kalah bobotnya. Seseorang bersedia menjadi tim sukses, hanya jika kandidat yang didukungnya menjanjikan dirinya akan mendapat jabatan tertentu kalau calon dimaksud memenangkan pilkada. Atau memperoleh proyek tertentu, selama kabupaten/kota setempat dipimpin oleh pasangan tadi.
Entitas sosiologi politik yang diuraikan di atas, sepantasnya bisa diurai lebih rinci. Tujuannya apa? Minimal agar kita punya gambaran yang lengkap dan mendalam, faktor apa saja yang bisa menjadi pemicu konflik horizontal dan vertikal akibat pilkada, dan bagaimana wujud solusi (yang efisien dan efektif) guna mengelola konflik, sebagai dampak pilkada itu sendiri. (24)
-Novel Ali, dosen FISIP Undip, Tim Pemantau Pilkada Mapilu PWI Jawa Tengah (dikutip dari harian SUARA MERDEKA terbitan 8Juni 2005) .
15 komentar:
Nama : Yanto
NIM : 2008/20088/MAF
Dari apa yang telah saya baca, menurut saya apa yang akan maupun telah dilakukan oleh para calon wakil rakyat tersebut masih manusiawi karena menurut saya keputusan yang mereka pilih untuk menjadi seorang pemimpin sudah pasti dibarengi dengan usaha keras dan motivasi yang tinggi. Dalam usaha para calon wakil rakyat untuk mewujudkan impiannya tersebut mungkin terdapat salah satu usaha yang tidak sesuai dengan peraturan yang ad, dan dalam hal ini hal pelanggaran peraturan ini sikap dari para aparat pmerintah harus lebih profesional untuk menegakkan peraturan demi cita bangsa kita ini.
Nama : Cein cicilia
NIM :2008/20065/MAF
Menurut saya peranan dari aparat pemerintah dalam menyikapi kegiatan para calon wakil rakyat dalam mencari asrirasi dari masyarakat harus lebih profesional dan juga aparat pemerintah harus lebih optimal dalam mensosialisasikan tentang politik kepada masyarakat.
nama :neng eka rahmawati
nim :2008/20077/MAF
setelah apa yang sudah saya baca,apa yang dilakuakan oleh para caleg adalh hanya rekayasa atau mengobaral janji-janjinya dan tidak tahu akan terbukti ataupun engga dan sngat stuju sekali dengan penolakan yang dilaskukan rakyat membangun tmpat ibadah tanpa harus ada unsur politik,,dan para caleg pun hanya mengiginkan suara rakyat agar apa yang diinginkannya bisa tercapai tanpa tahu bukti nanyi yang akan qt dapatkan,,dan ini merupan salh satu kampnyr mereka dan banyak sekali biasanya pelanggaran-palanggaran yng terjadi serta banyak pe;aturan KPU maupun UU yang berlaku seolah-olah mereka penguasa yang baru selanjutnya
Nama : Yieni Firnawati
NIM : 2007 / 20072 / MRS
Menurut saya, apa yang dilakukan para caleg tersebut merupakan suatu fenomena yang lumrah dilakukan untuk menarik simpati massa, walau harus melakukan
segala upaya bahkan sering rela merogok kocek pribadi dalam-dalam. Sayangnya hal ini justru membuat sebagian masyarakat ragu untuk memilih caleg bersangkutan
sebagai wakil rakyat, karena dikhawatirkan ketika dia
telah menduduki jabatan tersebut akan ada upaya untuk mengembalikan apa yang telah dikorbankannya dalam meraih jabatan tersebut walau dengan menghalalkan segala cara. Idealnya pihak aparat yang terkait melakukan sosialisasi politik kepada masyarakat dan tindakan yang tegas terhadap kecurangan dan penyimpangan
baik pra maupun pasca pemilihan. Namun faktanya sering kali ditemukan pihak aparat terkait, justru ikut bermain dalam praktek kecurangan tersebut.
Nama :Santoso
NIM :2005/20104/MRS
Menurut saya... pemilu memang sangat dinantikan-nantikan oleh para caleg/ calon kepala daerah, tim sukses maupun masyarakat umum.
para calon wakil rakyat menanti kursi kedudukan, dan tim sukses menanti sejumlah bonus yang yang dijanjikan oleh orang yang didukungnya...
sedangkan masyarakat menanti rejeki nomplok yang dibagikan oleh para caleg dengan harapan mau memilihnya dengan imbalan sejumlah uang atau barang maupun sebuah janji manis yang keluar dari bibir para caleg. dan masyarakat sendiri tidak sadar atau bahkan ia sadar adanya praktek monny politik. yang penting mereka dapat keuntungan.
dan anehnya para aparat pemerintah membiarkan hal ini terjadi dan parahnya lagi ada sebagian aparat yang ikut bermain dalam bisnis ini.
hal ini para caleg kembali pada prinsip ekonomi yaitu dengan modal yang telah dikeluarkan ia harus mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.
sehingga dapat memicu terjadinya praktek korupsi pada saat ia terpilih menjadi penguasa. dan seandainya ia kalah dalam pemilihan ia berusaha protes terhadap hasil pemilihan dan meminta untuk mengadakan pemilihan ulang dengan alasan ada kecurangan dalam pelaksanaan pemilu, atau adanya penduduk yang tidak dapat kartu pemilu.
masalah-masalah tersebut dapat merugikan keuangan negara.
Nama:Lisma Yundari
NIM:2007/20097/MRS
Menurut pendapat saya,apa yang telah di lakukan caleg itu benar.karena mereka telah yakin untuk mejadi seorang pemimpin.oleh karena itu mereka juga berani menanggug risiko walaupun harus mengeluarkan biaya yang cukup besar.dalam hal ini,untuk mejadi seorang pemimpin sudah pasti bersikap profesional dalam mengambil sebuah keputusan.maka dari itu,seorang pemimpin harus bisa memimpin daerahnya masing-masing.
NAMA:NI WAYAN ARI WAHYUNI
NIM :2008/20078/MAF
Sesuai dengan apa yang telah saya baca ,menurut pendapat saya apa yang dilakukan oleh calon pemimpin atau caleg itu wajar saja di zaman dan era sekarang ini.Hal tersebut dilakukan untuk mencari simpati para pemilih untuk memilihnya di pilkada tersebut.Bahkan tidak tanggung-tanggung mereka merogoh kocek sendiri untuk mensukseskan pilkada itu.Apa yang mereka janjikan kadang-kadang cuma manis di janji saja kenyataannya tidak terbukti .Untuk mencapai tujuna memang perlu usaha ,pengorbanan baik materi atau non materi,pikiran ,serta bisa bersikap secara profesional.Dan perlu juga mereka bercermin apakah mereka layak atau tidak menjadi seorang pemimpin .Agar tidak menjadikan rakyat semakin menderita dengan bualan manis belaka.Seperti kata "YANG MISKIN MAKIN MISKIN YANG KAYA TAMBAH KAYA ".Para caleg berjalanlah di jalur yang sudah ditentukan oleh pemerintah sehingga dapat memimpin dan bisa menampung aspirasi masyarakat INDONESIA pada umumnya.
NAMA:I Wayan Mahady
NIM:2007/20108/MRS
YUPZ...,sebentar lagi kita akan memasuki tahun dimana pesta demokrasi akan digelar,yaitu PEMILU 2009.
'Pilkadal',pemilihan kepala daerah yang suka 'ngadal-ngadalin' rakyat he,he,he...
telah dilaksanakan oleh KPU di berbagai daerah di Indonesia,..
Emang sih banyak dinamika politik yang terjadi selama masa kampanye maupun setelah hasil penghitungan keluar.Lihat aja pilkada Jatim,ampe pake hasilnya ga disetujui pihak Ka-ji,n peke acara diulang segala lagi,kan kasihan dana sebanyak itu,coba untuk ngebantu korban kebakaran di pasar Temenggung,he..he..Itulah harga untuk sebuah pembelajaran demokrasi.Sebenarnya,kalau saya kaji lebih dalam,kampanye yang menelan banyak dana tersebut juga ada dampak positifnya kok,lihat aja sablon-sablon baju yang bergambar kandidat calon,kan jadi ngebanyakin orderan para pengusaha Konveksi,he.. .Money politic,black campaign,emang harus diminimalisir,agar Demokrasi kita lebih baik.Well,itu semua memang harus kita lalui,agar proses pendewasaan demokrasi Indonesia,negeri kita tercinta ini menjadi lebih matang.
Nama ; Nintari Dewandaru Lestari
NIM ;2008/20079/MAF
Ehm.. Pilkada akan segera tiba, kita akan melihat sebuah realita dimana manusia berlomba- lomba untuk menduduki kekuasan..
Pilkada adalah ajang bergengsi, ketika caleg berhamburan uang hanya demi sebuah suara, itupun kalau halal caranya.. he2x..
Bukan hanya semata-mata modal duit, visi misi merekapun akan di perhitungkan oleh rakyat, bukan sekedar janji-janji palsu.
Faktanya, ketika kekuasaan telah di dapat.. realisasinya minus.
" Wakil rakyat.. seharusnya merakyat.. ",itu harapan rakyat.. bukan duit rakyat yang menjadikan rakyat semakin melarat.
pembangunan tempat ibadah berbasis politik adalah bentuk suap,hanya untuk menarik simpati rakyat.
Bagi caleg lah, berkompetisi dengan hati nuani, pikirkan nasib rakyat, bukan gaji buta semata ketika kalian menduduki kursi..
kalian akan lbh mrskan nikmat dunia ketika rakyat telah mempercayai kalian.
GOOD LUCK!!! HIDUP INDONESIAKU!!
Nama:Danie A
NIM :2008/20067/MAF
Menurut saya,hal-hal yang dilakukan oleh calon-calon kepala daerah untuk memperebutkan kekuasaan atau memperkuat posisi politik dengan cara memberikan bantuan kepada pihak-pihak tertentu misalnya pembangunan Mesjid atau Gereja serta memberikan sumbangan kepada orang-orang yang tidak mampu adalah sesuatu yang wajar selagi apa yang mereka lakukan bisa memberikan dampak positif bagi perkembangan daerahnya bukan hanya memikirkan kepentingan pribadi untuk memperoleh kekuasaan tersebut.Apabila terjadi konfik diantara para pihak pendukung partai seharusnya pihak keamanan harus menyikapi lebih baik lagi ,agar dalam proses pemilihan tersebut berjalan dengan lancar demi kepentingan bersama.Apabila mereka mengerluarkan suatu biaya yang besar itu adalah sebagian kecil untuk mencapai suatu kekuasaan yang mereka inginkan.
Menurut saya,ini merupakan ajang persaingan bagi para politikus-politikus berduit.Mereka rela melakukan apa saja demi mendapatkan dukungan dari masyarakat,sehingga nantinya mereka bisa mendapatkan kursi kekuasaan di pemerintahan.Dalam hal ini mereka rela mengeluarkan dana yang sangat besar demi menarik simpati dari masyarakat.Mereka juga banyak membuat program-program tanpa memikirkan bagaimana sosialisasinya nanti.Mereka juga membangun infrastruktur seperti tempat-tempat ibadah,sekolah,dll.Dan bagi para tim sukses,mereka rela berkorban untuk kandidat mereka,karena mereka telah dijanjikan jabatan penting apabila kandidat mereka menang dalam pilkada.
Menurut saya,ini merupakan ajang persaingan bagi para politikus-politikus berduit.Mereka rela melakukan apa saja demi mendapatkan dukungan dari masyarakat,sehingga nantinya mereka bisa mendapatkan kursi kekuasaan di pemerintahan.Dalam hal ini mereka rela mengeluarkan dana yang sangat besar demi menarik simpati dari masyarakat.Mereka juga banyak membuat program-program tanpa memikirkan bagaimana sosialisasinya nanti.Mereka juga membangun infrastruktur seperti tempat-tempat ibadah,sekolah,dll.Dan bagi para tim sukses,mereka rela berkorban untuk kandidat mereka,karena mereka telah dijanjikan jabatan penting apabila kandidat mereka menang dalam pilkada.
Nama : Yulia Felista Kindangen
NIM : 2008/20090/MAF
Menurut saya,ini merupakan ajang persaingan bagi para politikus-politikus berduit.Mereka rela melakukan apa saja demi mendapatkan dukungan dari masyarakat,sehingga nantinya mereka bisa mendapatkan kursi kekuasaan di pemerintahan.Dalam hal ini mereka rela mengeluarkan dana yang sangat besar demi menarik simpati dari masyarakat.Mereka juga banyak membuat program-program tanpa memikirkan bagaimana sosialisasinya nanti.Mereka juga membangun infrastruktur seperti tempat-tempat ibadah,sekolah,dll.Dan bagi para tim sukses,mereka rela berkorban untuk kandidat mereka,karena mereka telah dijanjikan jabatan penting apabila kandidat mereka menang dalam pilkada.
setelah menelaah tulisan seri sospol saya berpendapat bahwa apa yang dilakukan para calon calon pejabat publik seharusnya tidak melakukan hal hal yang melanggar etika seperti melakukan sogokan kepada para pemilih dengan memberikan "sesuatu", tetapi tunjukkan bahwa mereka adalah calon pemimpin yang dapat diandalkan untuk membela kepentingan rakyat dengan track record yang baik, seperti kejujuran, kerja keras, punya misi dan visi yang jelas dan satu lagi profesional. semua ini dilakukan agar dapat melaksanakan amanat yang telah dipercayakan kepada para calon pejabat.
Menurut saya peranan dari aparat pemerintah dalam menyikapi kegiatan para calon wakil rakyat dalam mencari asrirasi dari masyarakat harus lebih profesional dan juga aparat pemerintah harus lebih optimal dalam mensosialisasikan tentang politik kepada masyarakat.
Posting Komentar